BAB
1
LATAR
BELAKANG
Pada saat jaman modern ini masih banyak
masyarakat-masyarakat yang merasakan kehidupan ekonomi yang sangat minim dan
sangat menyedihkan, Secara khusus di Indonesia, sejak 17 Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan,
ternyata belum seutuhnya membebaskan masyarakat Indonesia dari keterbelakangan.
Pada kurun waktu yang lama, gagasan membangun rencana pembangunan yang bertahap
sesuai Repelita dan
Pelita, yang menjadi Kebijakan Top Down Orde Baru, ternyata tidak sanggup meniadakan kemiskinan. Di dalam frame Repelita
dan pelita, dengan alasan stabilitas, terjadi penindasan serta
penyingkiran terhadap masyarakat yang menolak kebijakan top down. Mereka disingkirkan
karena dituduh sebagai penghambat pembangunan dan kemajuan. Tidak semua pembangunan fisik dan spiritual memperhatikan
kepentingan masyarakat. Akibatnya, tujuan pembangunan nasional untuk
menciptakan atau mencapai masyarakat adil dan makmur sesuai nilai-nilai luhur
yang terkandung dalam pembukaan UUD 45, hanya terwujud pada sebagian masyarakat
atau kolompok yang dekat dengan pusat kekuasaan tingkat pusat sampai di
pelosok-pelosok negeri. Dan paradoksnya adalah, di sana-sini, tercipta
komunitas masyarakat tersisih dan tertinggal karena korban pembangunan sebagai
si miskin.
BAB 2
PEMBAHASAN MASALAH
1.
Permasalahan
Setelah memahami apa yang dimaksud dengan masalah
ekonomi, kini kita akan mencoba menemukan hubungan yang nyata dari masalah
ekonomi ini dengan kehidupan kita sehari-hari sebagai individu dalam lingkungan
keluarga, lingkungan masyarkat, lingkungan negara bahkan lingkungan dunia.
Setiap hari kita selalu dihadapkan dengan masalah ekonomi. Dengan jumlah uang
yang ia miliki, seorang pelajar harus menetukan apakah ia akan membeli buku,
nonton bioskop, atau menraktir teman-temannya. Tidak hanya pelajar yang
menghadapi masalah seperti ini. Orang tua, guru,dosen, pegawai negeri juga
mengahadapi masalah yang sama. Orang tua kita harus mengambil keputusan yang
terbaik dalam mengalokasikan penghasilan mereka untuk membeli kebutuhan pokok
keluarga, membiayai pendidikan anak-anaknya, juga membiayai kesehatan seisi
keluarga.
Bila kita tarik lebih jauh lagi, negara kita pun
menghadapi masalah ekonomi. Sebagai contoh, pemerintah Indonesia, dalam hal ini
Bank Indonesia setiap harinya harus menentukan banyak jumlah uang yang perlu
dikeluarkan guna mengerakkan perekonomian negara. Begitu pula dengan Direktorat
Jenderal Pajak yang harus bekerja keras untuk meningkatkan pemasukan pajak guna
pembiayaan pembangunan, serta berbagai instansi yang lain juga harus memainkan
perannya dengan baik agar roda perekonomian bangsa bisa terus berputar. Dalam
lingkup yang lebih luas dapat dikatakan bahwa seluruh warga negara beserta
pemerintah menghadapi masalah ekonomi.
Pertanyaannya kini, sebagai negara berkembang,
apakah masalah-masalah ekonomi yang dihadapi oleh negara seperti Indonesia sama
dengan masalah-masalah ekonomi yang dihadapi oleh negara maju? Sesuai dengan
klasifikasi yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), negara kita
Indonesia termasuk negara ke dalam negara berkembang.
2. Tujuan
Penulisan
Didalam pembuatan makalah ini, terdapat unsur-unsur
tertentu yang dianggap sangat penting. Selain memberikan gambaran tentang
kemiskinan di negara kita ini, kita juga mengetahui masalah-masalah ekonomi di
indonesia dan mengapa bisa terjadi
kemiskinan di negara kita ini.
BAB 3
LANDASAN
TEORI
Teori Neo-Liberal
Shannon,
Spicker, Cheyne, O’Brien dan Belgrave mengatakan bahwa kemiskinan
merupakan persoalan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang jika
pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Ini berarti strategi
penanggulangan kemiskinan bersifat “residual” sementara, yang melibatkan
keluarga, kelompok swadaya atau lembaga keagamaan. Negara akan turut campur
ketika lembaga-lembaga di atas tidak lagi mampu menjalankan tugasnya. Penerapan
Jaminan Pengaman Sosial (JPS) di Indonesia adalah contoh nyata pengaruh teori
ini.
Teori Marjinal
Teori
Marjinal berasumsi bahwa kemiskinan di perkotaan terjadi
dikarenakan adanya ‘kebudayaan kemiskinan’ (culture of poverty) yang
tersosialisasi di kalangan masyarakat atau komunitas tertentu.
Oscar Lewis (1966) adalah tokoh dari aliran teori Marjinal, konsepnya yang terkenal
adalah Culture of
Poverty . Menurut Lewis,
masyarakat di Dunia Ketiga menjadi miskin karena adanya Culture of Poverty
(Kebudayaan Kemiskinan) , dengan karakter:
a.
Apatis, menyerah pada nasib
b.
Sistem-sistem keluarga yang tidak mantap
c.
Kurang pendidikan
d.
Kurang ambisi untuk membangun masa depan
e.
Kejahatan dan kekerasan merupakan hal yang
lumrah
Ada 2 (dua) pendekatan
pererencanaan yang bersumber dari pandangan Teori Marjinal:
Prakarsa harus datang dari luar komunitas.
Perencanaan
harus berfokus pada perubahan nilai, karena akar masalah ada pada
nilai.
Teori Struktural
Tepri ini
didasari oleh pemikiran yang berasal dari Teori Dependency (Teori
Ketergantungan) yang diperkenalkan oleh Andre Gunder Frank (1967) “Capitalism
and the Underdevelopment in Latin America”, dan juga oleh Teothonio Dos Santos,
dan Samir.
Teori
Struktural berasumsi bahwa kemiskinan dikota-kota Dunia Ketiga terjadi bukan
karena persoalan budaya, dan juga bukan bukan persoalan pembangunan ekonomi,
melainkan persoalan struktural, yang hanya dapat dijelaskan dalam konstelasi
politik-ekonomi Dunia.
BAB 4
PEMBAHASAN
1.1
Kemiskinan dan Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan
adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar
seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan.
Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar,
ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan
masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif Masalah
kemiskinan memang telah ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya
masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi kemiskinan dalam
bentuk minimnya kemudahan/materi, dari ukuran kehidupan moderen pada masa kini
mereka tidak menikmati pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan
lainnya yang tersedia pada zaman moderen. Kemiskinan sebagai suatu penyakit
sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang,
tetapi juga negara-negara maju.
Menurut
bappenas (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau
sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak
dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak
hak dasar masyarakat antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan,
pendidikan, perkerjaan, perumahan, air bersih,pertanahan,sumber daya alam dan
linkungan hidup, rasa aman atau ancaman tindak kekerasan,dan hak untuk
berpartisipasi dalam kehidupan politik.
Bank dunia
sebagai mana di kutip prayitno dan santoso (1996) menunjukan adanya tiga
dimensi kemiskinan, yaitu :
- Kemiskinan multi dimensional,
artinya karena kebutuhan manusia itu bermacam macam, maka kemiskinan pun
memiliki banyak aspek. Dilihat dari kebijakan umum, maka kemiskinan
meliputi aspek primer yang berupa miskin akan aset, organisasi social
politik dan pengetahuan serta keterampilan. Dan aspek skunder yang berupa
miskin akan jaringan social, sumber- sumber keuangan dan impormasi.
Dimensi dimensi kemiskinan tersebut termanipestasikan dalam bentuk
kekurangan gizi, air, perumahan yang tidak sehat, perawatan kesehatan yang
kurang baik, dan tinkat pendidikan yang rendah.
- Aspek-aspek kemiskinan saling
berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini bararti
bahwa kemajuan atau kemundurn pada aspek lainnya. Ketiga, bahwa yang
miskin adalah manusianya baik secara individual maupun kolektif.
Dengan
demikian konsep kemiskinan yaitu suatu situasi dimana pendapatan individu di
suatu kawasan tidak dapat memenuhi standar pengeluaran minimum yang dibutuhkan
individu untuk dapat hidup layak. Ketika perekonomian berkembang di suatu
daerah yang lebih kecil, terdapat lebih banyak pendapatan yang di belanjakan
untuk memperoleh gizi yang lebih baik, pendidikan untuk anak-anaknya, perbaikan
kondisi rumah, dan pengeluaran-pengeluaran lain yang lebih mencerminkan
investasi dan bukan konsumsi, khususnya jika dilihat dari sudut pandang kaum
miskin.
Terdapat
beberapa teori yang telah dikaitan dengan kemiskinan. Secara ringkas,
teori-teori tersebut dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu teori yang
memfokuskan pada tingkah laku individu dan teori yang mengarah pada struktur
sosial. Teori yang memfokuskan pada tingkah laku individu merupakan teori
tentang pilihan, harapan, sikap, motivasi dan human capital. Secara
keseluruhan, teori ini tersajikan dalam teori ekonomi neoklasik, yang berasumsi
bahwa manusia bebas mengambil keputusan untuk dirinya sendiri dengan
tersedianya pilihan-pilihan. Teori perilaku, singkatnya, meyakini bahwa sikap
individu yang tidak produktif telah melahirkan lahirnya kemiskinan.
Teori kedua
adalah teori strukturalis yang diwakili oleh teori kelompok marxis. Yaitu bahwa
hambatan-hambatan struktural yang sistemik telah menciptakan ketidaksamaan
dalam kesempatan, dan berkelanjutannya penindasan terhadap kelompok miskin oleh
kelompok kapitalis. Teori struktural melihat bahwa kondisi miskinlah yang
mengakibatkan perilaku tertentu pada setiap individu, yaitu, munculnya sikap
individu yang tidak produktif merupakan akibat dari adaptasi dengan keadaan
miskin. Selain dua teori di atas, terdapat pula teori yang tidak memihak. Teori
yang paling terkenal adalah teori mengenai budaya miskin. Teori ini mengatakan
bahwa gambaran budaya kelompok kelas bawah, khususnya pada orientasi untuk masa
sekarang dan tidak adanya penundaan atas kepuasan.
Penyebab
Kemiskinan
Kemiskinan
menurut Sharpetal, dapat disebabkan oleh ketidaksamaan pola kepemilikan
sumber daya, perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia dan disebabkan oleh
perbedaan akses dalam modal. Sedangkan lingkaran setan kemiskinan versi Nurkse
sangat relevan dalam menjelaskan fenomena kemiskinan yang terjadi di
negara-negara terbelakang. Menurutnya negara miskin itu miskin karena dia
miskin (a poor country is poor because it is poor). Menurut Thorbecke,
kemiskinan dapat lebih cepat tumbuh di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan
karena, pertama, krisis cenderung memberi pengaruh terburuk kepada beberapa
sektor ekonomi utama di wilayah perkotaan, seperti konstruksi, perdagangan dan
perbankan yang membawa dampak negatif terhadap pengangguran di perkotaan.
kedua, penduduk pedesaan dapat memenuhi tingkat subsistensi dari produksi mereka
sendiri.
Pada awal pembangunan di Indonesia, beredar suatu teori yang sangat terkenal mula-mula dikemukakan oleh seorang ahli ekonomi asal Swedia dan penerima hadiah nobel untuk ekonomi, Ragnar Nurkse. Teori itu disebut teori “Lingkaran Setan Kemiskinan”, terjemahan dari “Vicius Sircle of Poverty” yaitu konsep yang mengandaikan suatu konstellasi melingkar dari daya- daya yang cenderung beraksi dan beraksi satu sama lain secara sedemikian rupa sehingga menempatkan suatu negara miskin terus menerus dalam suasana kemiskinan. Teori itu menjelaskan sebab-sebab kemiskinan dinegara-negara sedang berkembang yang umunya baru merdeka dari penjajahan asing. Bertolak dari teori inilah, kemudian dikembangkan teori-teori ekonomi pembangunan, yaitu teori yang telah dikembangkan lebih dahulu di Eropa Barat yang menjadi cara pandang atau paradigma untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah ekonomi di negara-negara sedang berkembang, misalnya India atau Indonesia. Pada pkoknya teori itu mengatakan bahwa negara-negara sedang berkembang itu miskin dan tetap miskin, karena produktivitasnya rendah. Kerana rendah produktivitasnya, maka penghasilan seseoarang juga rendah yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya yang minim. Karena itulah mereka tidak bisa menabung. Padahal tabungan adalah sumber utama pembentukan modal masyarakat sehingga capitalnya tidak efisien (boros). Untuk bisa membangun, maka lingkaran setan itu harus diputus, yaitu pada titik lingkaran rendahnya produktivitas, sebagai sebab awal dan pokok.
1.3
Indikator Kemiskinan
Indikator
utama kemiskinan menurut BAPPENAS dapat dilihat dari; (1) kurangnya pangan,
sandang dan perumahan yang tidak layak; (2) terbatasnya kepemilikan tanah dan
alat-alat produktif; (3) kuranya kemampuan membaca dan menulis; (4) kurangnya
jaminan dan kesejahteraan hidup; (5) kerentanan dan keterpurukan dalam bidang
sosial dan ekonomi; (6) ketakberdayaan atau daya tawar yang rendah; (7) akses
terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas.
Menurut Bank
Dunia indikator kemiskinan yaitu:
a)
kepemilikan tanah dan modal yang terbatas
b)
terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan, pembangunan yang biaskota
c)
perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat
d)
perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi
e)
rendahnya produktivitas
f)
budaya hidup yang jelek
g)
tata pemerintahan yang buruk
h)
dan pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan
BPS
mengartikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar minimum
kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makanan maupun non-makanan.Dari sisi
makanan, BPS menggunakan indikator yang direkomendasikan
oleh Widyakara Pangan dan Gizi tahun 1998 yaitu kebutuhan gizi 2.100 kalori per
orang per hari, sedangkan dari sisi kebutuhan non-makanan tidak hanya terbatas
pada sandang dan papan melainkan termasuk pendidikan dan kesehatan. Model ini
pada intinya membandingkan tingkat konsumsi penduduk dengan suatu garis
kemiskinan (GK), yaitu jumlah rupiah untuk konsumsi per orang per bulan.
Sedangkan data yang digunakan adalah data makro hasil Survei Sosial dan
Ekonomi Nasional (Susenas).
oleh Widyakara Pangan dan Gizi tahun 1998 yaitu kebutuhan gizi 2.100 kalori per
orang per hari, sedangkan dari sisi kebutuhan non-makanan tidak hanya terbatas
pada sandang dan papan melainkan termasuk pendidikan dan kesehatan. Model ini
pada intinya membandingkan tingkat konsumsi penduduk dengan suatu garis
kemiskinan (GK), yaitu jumlah rupiah untuk konsumsi per orang per bulan.
Sedangkan data yang digunakan adalah data makro hasil Survei Sosial dan
Ekonomi Nasional (Susenas).
Dalam
kehidupan masyarakat yang tergolong klarifikasi penduduk miskin berdasarkan
kemampuannya memenuhi kebutuhan hidupnya, menurut Badan Pusat Statistik :
- Penduduk dikatakan sangat
miskin apabila kemampuan memenuhi konsumsi makanan hanya mencapai
900/kalori/orang/hari ditambah kebutuhan dasar atau setara dengan Rp.
120.000/orang/hari.
- Penduduk dikatakan miskin
apabila kemampuan memenuhi konsumsi makanan hanya mencapai antara
1900/2100 kalori/orang/hari ditambah kebutuhan dasar atau setara dengan
Rp. 120.000-Rp. 150.000/orang/bulan.
- Penduduk dikatakan mendekati
miskin apabila kemampuan memenuhi konsumsi makanan hanya mencapai
2100/23000 kalori/orang/hari dan kebutuhan dasar atau setara dengan Rp.
150.000-Rp. 175.000/orang/bulan.
Menurut SNPK strateginya adalah sebagai berikut:
Pengelolaan Ekonomi Makro
Upaya penanggulangan kemiskinan tidak dapat lepas
dari penciptaan stabilitas ekonomi sebagai landasan bagi peningkatan
pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan
masyarakat. Kebijakan dan program yang ditempuh antara lain adalah kebijakan
moneter dan kebijakan fiskal. Kebijakan moneter dilakukan untuk mengendalikan
inflasi dan menjaga nilai tukar rupiah, dan kebijakan fiskal dilaksanakan untuk
menjaga kesinambungan fiskal dan memberikan stimulus perekonomian sesuai dengan
kemampuan keuangan negara
Kebijakan Moneter
Dalam mendukung pelaksanaan Inpres No. 23 Tahun
2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudah Berakhirnya Program
Kerjasama dengan IMF dan sesuai dengan Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang
Bank Indonesia, kebijakan moneter diarahkan untuk mengendalikan laju inflasi
dan fluktuasi nilai tukar rupiah. Kebijakan moneter yang didukung oleh
kebijakan fiskal, kebijakan sektor riil, serta lingkungan yang kondusif telah
dapat mengendalikan laju inflasi dan fluktuasi nilai tukar dalam beberapa tahun
terakhir. Laju inflasi dapat dikendalikan menjadi 11,5% pada tahun 2001 dan
6,4% pada tahun 2004 dengan rata-rata kurang dari 10% selama 5 tahun terakhir.
Sementara itu, nilai tukar rupiah relatif stabil dengan kecenderungan menguat
dari sekitar Rp10.241/US$ pada tahun 2001 menjadi sekitar Rp8.928/US$ pada
tahun 2004. Upaya pengendalian laju inflasi dan fluktuasi nilai tukar rupiah
antara lain melalui pengendalian uang primer dan suku bunga perbankan.
Penurunan laju inflasi pada gilirannya akan diikuti oleh penurunan suku bunga
perbankan. Rata-rata tertimbang suku bunga SBI 1 bulan selama tiga tahun
terakhir mencapai lebih dari 7%. Walaupun suku bunga SBI telah menurun secara
bertahap, namun hal tersebut belum diikuti oleh penurunan suku bunga pinjaman
perbankan. Suku bunga pinjaman perbankan yang tinggi kurang mendukung
pengembangan usaha produktif yang dilakukan oleh masyarakat dan pengusaha.
Tanpa adanya insentif yang memadai bagi pengembangan usaha, maka upaya
perluasan kesempatan kerja yang bermanfaat bagi peningkatan pendapatan
masyarakat miskin tidak akan berhasil.
Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal diarahkan untuk mempertahankan
keberlanjutan fiskal dan memberikan stimulus terbatas sesuai kemampuan keuangan
negara. Kebijakan fiskal dilakukan melalui peningkatan pengelolaan penerimaan
negara antara lain dengan reformasi perpajakan, peningkatan efisiensi dan
optimalisasi alokasi pengeluaran negara, serta perbaikan pengelolaan anggaran.
Dari sisi penerimaan, upaya peningkatan
penerimaan negara terutama dilakukan melalui peningkatan penerimaan pajak.
Dalam tiga tahun terakhir, penerimaan perpajakan yang terdiri dari pajak dalam
negeri dan pajak perdagangan internasional mengalami peningkatan rata-rata
sekitar 14 % per tahun, dari Rp. 210,1 triliun (13,0 % terhadap PDB) pada tahun
2002 menjadi Rp. 272,2 triliun (13,6 % terhadap PDB) dalam tahun 2004. Besarnya
rasio pajak terhadap PDB tersebut masih relatif lebih rendah dibanding
negara-negara di kawasan Asia Tenggara sehingga diperlukan terobosan dalam
peningkatan penerimaan pajak tersebut melalui amandemen undang-undang
perpajakan. Peningkatan penerimaan pajak tersebut sangat penting untuk
meningkatkan kemampuan pemerintah dalam meningkatkan belanja negara baik
belanja pemerintah pusat maupun transfer kepada pemerintah daerah melalui dana
perimbangan.
Dari sisi pengeluaran negara, kemampuan
pemerintah meningkatkan alokasi belanja negara untuk investasi masih terbatas
mengingat masih besarnya kewajiban pemerintah dalam membayar bunga utang maupun
penyediaan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Kondisi ini menyebabkan rendahnya
kemampuan negara untuk memenuhi hak-hak dasar masyarakat. Di sisi lain,
pengurangan dan penghapusan berbagai subsidi seperti pupuk, BBM dan listrik
berdampak langsung pada meningkatnya beban pengeluaran masyarakat miskin. Oleh
sebab itu, realokasi anggaran pemerintah untuk meningkatkan belanja investasi
seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan bantuan sosial mendesak
dilakukan agar kebijakan pengeluaran negara mendukung pemenuhan hak-hak dasar
masyarakat.
Dari sisi pembiayaan anggaran, sekalipun
kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit APBN cenderung menurun dalam
beberapa tahun terakhir, namun pemerintah perlu menyediakan dana yang cukup
besar untuk membayar pokok utang yang jatuh tempo, baik utang dalam negeri
maupun utang luar negeri. Besarnya pokok pembayaran utang luar negeri dalam
beberapa tahun terakhir bahkan telah melampaui besarnya utang luar negeri yang
diperoleh dari negara-negara donor. Untuk menutup kebutuhan pembiayaan yang
cukup besar tersebut, saat ini Pemerintah lebih mempriotaskan kepada penerbitan
Surat Utang Negara (SUN) dalam negeri. Pemenuhan kebutuhan pembiayaan juga
berasal dari penjualan aset-aset BPPN dan privatisasi BUMN. Pada dasarnya,
penjualan aset-aset BPPN dan privatisasi BUMN selain untuk mendukung kebutuhan
pembiayaan anggaran, namun yang lebih utama adalah mengembalikan pengelolaan
investasi dari pemerintah kepada masyarakat agar perekonomian lebih berjalan
efisien.
Kebijakan moneter dan fiskal selama ini yang
cenderung hati-hati dan lebih mengutamakan keberlanjutan fiskal telah menghasilkan
stabilitas ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang meningkat dari -13,1% pada
tahun 1998 menjadi 0,8% pada tahun 1999 dan 4,5% pada tahun 2003. Pertumbuhan
ekonomi tersebut masih jauh di bawah tingkat sebelum krisis ekonomi dan kurang
memadai untuk menyerap tambahan angkatan kerja yang ada sehingga pengangguran
terus meningkat. Jumlah pengangguran justru bertambah dari 6,4% pada tahun 1999
menjadi 9,7% pada tahun 2004, dan diikuti oleh peningkatan pekerjaan pada
sektor informal. Peningkatan pertumbuhan ekonomi tanpa diikuti oleh pengurangan
jumlah pengangguran menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi yang dikembangkan tidak
bertumpu pada perluasan usaha yang dikembangkan oleh sebagian besar masyarakat.
Oleh sebab itu, untuk mengurangi jumlah pengangguran, persentase dan kualitas
pertumbuhan ekonomi perlu ditingkatkan. Peningkatan kualitas pertumbuhan
ekonomi terutama diarahkan kepada peningkatan daya serap tenaga kerja untuk
setiap persen pertumbuhan ekonomi. Langkah strategis dalam pengelolaan ekonomi makro
di masa depan adalah mempertahankan stabilitas ekonomi melalui pengendalian
inflasi dan nilai tukar, dan kesinambungan fiscal, meningkatkan pertumbuhan
ekonomi melalui pengembangan investasi, peningkatan produktivitas, perluasan
perdagangan, dan peningkatan pembangunan infrastruktur; memperluas kesempatan
kerja melalui penciptaan lapangan kerja dan peningkatan produktivitas tenaga
kerja, dan mengurangi kesenjangan antar wilayah melalui percepatan pembangunan
wilayah tertinggal dan terisolasi, wilayah perbatasan, wilayah pasca konflik
dan wilayah pasca bencana alam. Pengelolaan ekonomi makro menjadi bagian dari
upaya pemenuhan hak-hak dasar.
BAB
5
PENUTUP
Kesimpulan
Selama ini di Indonesia perspektif pembangunan
pemerintah tentang kemiskinan merupakan suatu realitas yang selalu dilihat dari
sudut ekonomi, kemiskinan selalu dilihat bahwa persoalan individu manusia itu
kenapa miskin atau persoalan yang ada dalam manusia itu sendiri. Tingkat
kemiskinan ini dinilai atau ditentukan berdasarkan ukuran-ukuran materi yang
sudah didefinisikan .Pengertian kemiskinan yang ekonomistik ini akan melahirkan
bentuk-bentuk kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam bantuan ekonomi saja.
Akibatnya Kebijakan pemerintah yang berkait dengan penanggulangan kemiskinan
selama ini tidak memenuhi target dan sasaran; bahkan cenderung memunculkan
kemiskinan yang baru. Bahkan banyak program yang memunculkan permasalahan;
karena tidak tepat ke sasaran dan pelaksanaan program yang tidak jelas.
Saran
Menurut saya pemerintah harus lebih serius untuk
memikirkan cara agar di negara kita ini bisa berkurangnya angka kemiskinan dan
setiap-setiap program untuk membantu rakyat seharusnya di awasi dengan teliti
agar tidak terjadinya masalah-masalah baru seperti di korupsi uangnya,
seharusnya anggaran untuk rakyat-rakyat miskin tapi di salah gunakan
anggaran-anggaran tersebut dan di menfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar